Sejarah Qurban dari Masa ke Masa
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. al-Haj: 34. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” QS. al-Haj: 37
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),..” Ayat di bagian pertama yang ditampilkan di atas menjadi ruh daripada perjalanan sejarah tentang qurban dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, yang telah lama menjadi salah satu jalan syariat bagi para Nabi dan Rasul di zaman mereka msaing-masing. Tonggak keberadaban sejarah ini dapat dilacak dari perjalanan sejarah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul sejak tapak-tapak syariat mulai membumi di alam terbuka untuk menjadi konsumsi umat sepanjang sejarah. Inilah tapak-tapak suci dari sejarah qurban dimulai:
Qurban Di masa Nabi Adam As. Tentang cerita kedua putera Adam (Habil dan Qabil) ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Qurban di masa Nabi Idris As. Dan bagi kaum Idris ditetapkan hari-hari raya pada waktu-waktu yang tertentu, serta berqurban; di antaranya saat terbenam matahari ke ufuk dan saat melihat hilal.
Qurban di masa Nabi Nuh As. Sesudah terjadi taufan (banjir) Nuh, Nabi Nuh As membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk meletakkan qurban, yang nantinya qurban tersebut sesudah diletakkan lalu dibakar.
Qurban di masa Nabi Ibrahim As. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa usia Ismail sekitar 6 atau 7 tahun. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, ditebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Qurban di masa Nabi Musa As. Qurban di zaman Nabi Musa As. dilakukan dengan cara membagi binatang yang disediakan untuk qurban kepada dua bagian, sebagian dilepaskan saja dan dibiarkan berkeliaran sesudah diberi tanda yang diperlukan. Dan sebagian lagi disembelih.
Qurban Bani Israil. Ummat dulu sebelum kita, jika seorang dari mereka berqurban, jika diterima datang api putih (Baidha`u) dari langit membakar apa yang diqurbankan. Jika qurbannya tidak diterima, api itu tidak muncul.
Qurban di masa Nabi Zakaria As dan Nabi Yahya As. Nabi Zakaria As dan Nabi Yahya As adalah di antara Nabi dan Rasul dari Bani Israil, pada keduanya ada qurban. Dan qurbannya adalah binatang dan Amti'atun (barang-barang) lalu dibakar api.
Qurban Pada Bangsa Yahudi dan Nashrani. Qurban pada bangsa Yahudi dan bangsa Nashrani, yaitu melakukan pengurbanan dengan membakar sebagai sesaji yang bertujuan mengingat-ingat kesalahan, yaitu dengan menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus dan tidak cacat.
Qurban Pada Bangsa Arab Jahilliyah. Qurban mereka dipersembahkan untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Ada binatang yang disembelih untuk berhala, dan ada binatang yang dilepas bebas berkeliaran, juga untuk berhala. Yaitu Bahirah, Saibah, Washilah, dan Ham. Caranya yaitu menyembelih binatang qurban, seperti unta, mereka percikan daging dan darahnya pada al-Baet (ka’bah).
Qurban Abdul Muthalib (Kakek Nabi SAW). dilakukan karena nazarnya. Tetapi Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100 ekor unta untuk berqurban karena penolakan masyarakat bangsa Arab. Dan dengan demikian Abdullah tidak dijadikan qurban oleh ayahnya.
Qurban Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW melakukan qurban pada waktu Haji Wada di Mina setelah shalat Idul Adha. Beliau menyembelih 100 ekor unta, 70 ekor disembelih dengan tangannya sendiri dan 30 ekor disembelih oleh Sayyidina Ali Ra. QS. al-Hajj/22:36.
Di sinilah berakhir sejarah qurban dengan sangat indah, sempurna, dan membumi di seluruh jagat semesta dijaga dengan sangat sempurna oleh generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in sampai pada generasi muta-akhkhirin. Menyadari aspek sangat penting dalam prosesi pelaksanaan ibadah qurban, adalah sifat dan kapasitasnya sebagai syiar utama hari raya Idul Adha. Mereka mampu mewujudkan sabda Baginda Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah selain menumpahkan /mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
Aspek syiar paling utama dari ibadah qurban yang dimaksud itu adalah pada prosesi penyembelihannya, dan bukan pada pendistribusiannya atau yang lainnya. Maka untuk menguatkan makna tersebut, Baginda Rasul sampai sengaja memilih ungkapan bahasa yang sangat vulgar untuk membahasakan qurban sebagai amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala di Hari Raya Idul Adha, yakni mengungkapkannya dengan kata-kata “ihraqid dam/iraqatid dam”, yang berarti menumpahkan/mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih).
Wujud dari itu semua di masa Nabi Muhammad dan setelahnya mereka menyembelih satu hewan qurban untuk diri dan keluarganya dan berserikat di dalam pahalanya; baik unta, sapi, dan kambing atau kibas. Ini dilakukan atas kesadaran spiritual yang dalam bahwa “Darah dan daging qurban tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai adalah ketaqwaan kita kepada Allah”, dengan memperhatikan konsep kehalalan dan higenis ketika dikonsumsi oleh masyarakat. Cinta, ketaatan, kepatuhan, ketunduhan dan pasrah kepada Allah melalui Rasul Saw menjadi teladan yang patut untuk ditiru di zaman kita ini, karena kehidupan hedonisme telah mampu mengalahkan peran agama dalam hidup kita zaman ini. Inilah hikmatut tasyri’ dari sejarah qurban dari generasi sahabat sampai pada kita sekarang ini. Wallahu a’lam.
Oleh: Drs. H. Usman Daud, MA (Konsultan Hukum Islam dan Keluarga)